Wednesday, May 7, 2014

WAKAF

WAKAF

A.  PENGERTIAN WAKAF
Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).
Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut.
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
B. Dasar Hukum Wakaf
Disyariatkannya wakaf di antaranya ditunjukkan oleh dalil-dalil sebagai berikut.
1. Dalil dari al-Qur’an
Secara umum wakaf ditunjukkan oleh firman AllahTa’ala :
“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai dan apa saja yang kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali ‘Imran: 92)
Begitu pula ditunjukkan oleh firman-Nya:
“Apa saja harta yang baik yang kalian infakkan, niscaya kalian akan diberi pahalanya dengan cukup dan kalian sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (al-Baqarah: 272)
2. Dalil dari al-Hadits                                      
Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-’Utsaimin Rahimahullah mengatakan, “Yang menjadi pijakan dalam masalah ini (wakaf) adalah bahwasanya Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab Radhiyallaahu ‘anhu memiliki tanah di Khaibar. Tanah tersebut adalah harta paling berharga yang beliau miliki. Beliau pun datang menemui Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wasallam  untuk meminta pendapat beliau Shallallaahu ‘alaihi Wasallam   tentang apa yang seharusnya dilakukan (dengan tanah tersebut)—karena para sahabat g adalah orang-orang yang senantiasa menginfakkan harta yang paling mereka sukai. Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam   memberikan petunjuk kepada beliau untuk mewakafkannya dan mengatakan,
إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا، وَتَصَدَقْتَ بِهَا
“Jika engkau mau, engkau tahan harta tersebut dan engkau sedekahkan hasilnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Ini adalah wakaf pertama dalam Islam. Cara seperti ini tidak dikenal di masa jahiliah.” (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
Disyariatkannya wakaf juga ditunjukkan oleh hadits:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ إِلاّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالحِ يَدْعُوْ لَهُ
“Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputus darinya amalnya kecuali dari tiga hal (yaitu): dari sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, al-Imam an-Nawawi t berkata terkait dengan hadits ini, “Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tentang benar/sahnya wakaf dan besarnya pahalanya.” (al-Minhaj, Syarh Shahih Muslim)
3. Ijma’
Disyariatkannya wakaf ini juga ditunjukkan oleh ijma’, sebagaimana diisyaratkan oleh al-Imam at-Tirmidzi t ketika menjelaskan hadits Umar Radhiyallaahu ‘anhu tentang wakaf.
Beliau berkata, “Ini adalah hadits hasan sahih. Para ulama dari kalangan para sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam   dan yang lainnya telah mengamalkan hadits ini. Di samping itu, kami tidak menjumpai adanya perbedaan pendapat di kalangan orang-orang yang terdahulu di antara mereka tentang dibolehkannya mewakafkan tanah dan yang lainnya.” (Jami’ al-Imam at-Tirmidzi)
http://kaahil.wordpress.com/2013/04/04
C. RUKUN WAKAF
Menurut madzhab Hanafi bahwa rukun wakaf hanya satu, yakni akad yang berupa ijab (pernyataan dari wakif), sedangkan qobul (pernyataan penerima wakaf) tidak termasuk rukun bagi ulama Hanafi, hal ini disebabkan akad tidak bersifat mengikat.
Menurut madzhab jumhur (Maliki, Syafi’i, Hambali), rukun wakaf ada empat, atau disebut unsur utama wakaf, yakni
1. Wakif (orang yang berwakaf)
2. Maukuf ‘alaih (orang yang menerima wakaf)
3. Maukuf (benda yang diwakafkan)
4. Shigot
Pendapat yang sama juga ditemui dalam pendapat Jalaluddin Al-Mahalli, Ibnu Qosim Al-Ghozali, dan Muhammad Musthafa Tslaby.[1]
D. Syarat-Syarat Wakaf
Bagi orang yang mewakafkan (pewakaf), terdapat 4 (empat) persyaratan.
  1. Pewakaf harus memiliki harta sepenuhnya, maksudnya wakaf benar-benar harta miliknya bukan harta orang lain, sehingga orang yang berwakaf leluasa mewakafkan hartanya kepada siapa dikehendaki.
  2. Pewakaf harus orang yang sehat lahir batin -maaf- bukan orang gila, atau orang dalam keadaan mabuk, udah baligh, orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid), bagi harta yang diwakafkan, terdapat beberapa persyaratan utama.
  3. Harta yang akan diwakafkan atau al-mauquf tidak boleh dipindah kepemilikkannya sebab akan menjadikannya tidak sah, kecuali bila pewakaf telah memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan.
  4. Barang yang diwakafkan harus bernilai serta sangat berharga, diketahui bobotnya yang apabila harta itu tidak diketahui kuantitinya alias majhul, maka proses wakaf menjadi tidak sah, harta yang diwakafkan benar-benar milik pewakaf (wakif), harta berdiri sendiri, maksudnya tidak bercampur dengan harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’). 
  5.  Wakaf benar-benar untuk kepentingan Islam saja. Penerima wakaf memiliki kriteria khusus, penerima wakaf (al-mauquf alaih), diklasifikasikan menjadi 2 (dua) macam.
o   Tertentu alias mu’ayyan - Maksud dari tertentu, yaitu; jelas siapa orang yang menerima wakaf tersebut; seorangkah? dua orang atau satu kumpulankah? Apabila sudah ditentukan dengan jelas maka niat wakaf tidak boleh diubah. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu (al-mawquf mu’ayyan) - Orang yang berhak atas harta wakaf alias ahlan li al-tamlik (perlu disedekahi atau dibantu). Karena itu, orang muslim, merdeka dan kafir dzhimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Sebaliknya, orang bodoh, budak (dulu - sekarang tidak ada budak -red), serta orang gila tidak sah menerima wakaf.
o   Tidak tertentu alias ghaira mu’ayyan - maksudnya peruntukkan berwakaf tidak ditentukan secara detil, misalnya; wakaf diperuntukan bagi seorang yang fakir, miskin. Yang berhakBaik itu saja sekilas tentang Makna Wakaf Menurut Ahli Fiqih. Semoga mampu membuka wawasan kita semua tentang pengertian wakaf.
E.  PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN WAKAF

Fiqih Islam kurang bayak membicarakan tata-cara dan mekanisme pelaksanaan wakaf secara lengkap dan detail. Akan tetapi PP no. 28 Tahun 1977 dan Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 mengatur petunjuk yang lebih lengkap. Menurut pasal 9 ayat (1) PP No. 28 Tahun 1977, pihak yang hendak mewakafkan tanahnya harus datang di hadapan PPAIW guna melakukan ikrar wakaf.[19]
Nazhir[20] wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya.[21] Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah.  Para ulama juga sepakat bahwa Nazhir dipercaya atas harta wakaf yang dipegangnya. Sebagai orang yang mendapat kepercayaan, dia tidak bertanggung jawab untuk mengganti harta wakaf yang hilang, jika hilangnya barang tersebut bukan karena faktor kesengajaan atau kelalaian.[22]
Pertama, Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara produktif.  Kedua, Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud pada  ayat (1) diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga penjamin syariah. Ketiga, Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir dilarang  melakukan perubahan peruntukan  harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis  dari Badan Wakaf Indonesia.  Keempat, Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila harta benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf. 
Sesuai dengan Pasal 45 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, seorang Nazhir dapat regenerasi atau diganti dengan ketentuan-ketentuannya antara lain:
  1. Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir diberhentikan dan diganti dengan Nazhir lain apabila Nazhir yang bersangkutan:
a)        meninggal dunia bagi Nazhir perseorangan;  bubar atau dibubarkan sesuai dengan  ketentuan peraturan perundang.undangan  yang berlaku untuk Nazhir organisasi atau Nazhir badan hukum; 
b)        atas permintaan sendiri; 
c)         tidak melaksanakan tugasnya sebagai  Nazhir dan/atau melanggar ketentuan  larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan  ketentuan peraturan perundang.undanganyang berlaku; 
d)        dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum  tetap. 
  1. Pemberhentian dan penggantian Nazhir  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia. 
  2. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh Nazhir lain  karena pemberhentian dan penggantian Nazhir, dilakukan dengan tetap  memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang ditetapkan dan tujuan serta fungsi wakaf.[23]

http://progresivitas-islam.blogspot.com/2011/03/pengelolaan-pengembangan-harta-wakaf.html, Selasa, 22 Maret 2011

No comments:

Post a Comment