Friday, October 26, 2012

AKAD


MAKALAH
FIKIH MUAMALAH





Oleh:
1.      Arina Nur Azka               (02)
2.      Farikha Amilahaq            (07)
3.      Khafid Ikmaluddin           (12)
4.      Novi Astuti Istiarini          (17)
5.      Salma Fathiya Ma’arifa    (21)
6.      Yahya Pamungkas Aji      (25)
Kelas 1 PS-A

POLITEKNIK NEGERI SEMARANG
TAHUN PELAJARAN 2011/2012

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb..
Alhamdulillah hirabbil ‘alamin, segala puji hanya untuk Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah Akad guna memenuhi tugas tak terstruktur dalam mata pelajaran Fikih Muamalah. Tak lupa shalawat serta salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. yang kita tunggu shafa’atnya di Yaumul Akhir nanti.
Makalah ini berisi pengertian akad, rukun dan syarat akad, dan masih banyak lagi, dimana ini merupakan materi dasar tentang akad. Maka dari itu, insya Allah akan sangat berguna bagi para pemula dan pelajar untuk belajar akad dari awal, dan juga berguna bagi yang sudah memahami akad, untuk pengingat-ingat materi yang telah lalu.
Dengan demikian, dengan disusunnya makalah Akad ini penyusun berharap kita semua dapat mengenal akad secara umum. Yang mana ini merupakan dasar dari berbagai jenis akad seperti akad nikah, akad jual beli, dan lain sebagainya. Supaya kita insya Allah dapat lebih mudah dalam memahami jenis-jenis akad beserta aturan-aturan spesifiknya.
Dalam penyusunan makalah Akad ini penyusun tidak dapat luput dari kesalahan-kesalahan baik secara penyusunan yang benar maupun secara isi. Maka dari itu penyusun meminta maaf sebanyak-banyaknya atas kekhilafan penyusun. Tak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih atas kesediaan pembaca untuk membaca, dan ikut membantu mengoreksi makalah ini.
Semoga makalah akad ini bermanfaat. Akhir kata, wassalamu’alaikum wr. wb..

Oktober 2011                  


Tim Penyusun                   



BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang
Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam rangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah. Karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.
Dalam pembahasan fikih, akad atau kontrak yang dapat digunakan bertransaksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan yang ada. Maka dari itu, dalam makalah ini penyusun akan mencoba untuk menguraikan mengenai banyak hal yang terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah di dalam kehidupan sehari-hari.
B.  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian akad?
2.      Aspek Syariah apa saja yag ada dalam akad?
3.      Apa saja rukun dan syarat akad?
4.      Macam-macam syarat akad ada apa saja?
5.      Bagaimana pembagian macam-macam akad?
6.      Bagaimana berakhirnya akad?


D.  Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah Akad ini adalah antara lain:
1.      Menambah pengetahuan pembaca tentang ilmu fikih muamalah terutama bab akad.
2.      Memahami secara umum tentang akad, rukun akad, syarat akad, pembagian macam akad, dan lain sebagainya tentang akad.
3.      Memenuhi tugas tak terstruktur dalam pelajaran Fikih Muamalah, kelas 1 PS-A.


BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Akad
Dalam bahasa Arab istilah akad memiliki beberapa pengertian namun semuanya memiliki kesamaan makna yaitu mengikat dua hal. Dua hal tersebut bisa konkret, bisa pula abstrak semisal akad jual beli.
Sedangkan secara istilah akad adalah menghubungkan suatu kehendak suatu pihak dengan pihak lain dalam suatu bentuk yang menyebabkan adanya kewajiban untuk melakukan suatu hal. Contohnya adalah akad jual beli.
Disamping itu, akad juga memiliki makna luas yaitu kemantapan hati seseorang untuk harus melakukan sesuatu baik untuk dirinya sendiri ataupun orang lain. Berdasarkan makna luas ini maka nadzar dan sumpah termasuk akad.
Akad dengan makna luas inilah yang Allah inginkan dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu." (Qs. al Maidah: 1)[1]

B.      Aspek Syariah Akad
Dalam perbankan syariah semua aturan bukan hanya terpaku pada peraturan-peraturan dari pihak pemerintah, akan tetapi peraturan dari Al-quran dan As-sunah yang paling utama, sehingga memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi. Ketentuan-ketentuan akad dalam melakukan transaksi di perbankan syariah diantaranya :
1. Rukun, seperti: penjual, pembeli, barang, harga, akad/ijab-qabul
2. Syarat, diantaranya :
a. Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
b. Harga barang dan jasa harus jelas.
c. Tempat penyerahan harus jelas karena akad berdampak pada biaya transportasi
d. Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi.[2]

C.      Rukun dan Syarat Akad
Rukun Akad
Beberapa hal yang dipandang sebagai rukun akad oleh jumhur ulama’ yaitu:
1.       Al aqidain
Al aqidain, atau pihak-pihak yang melakukan akad harus memenuhi persyaratan kecakapan bertindak hukum (Mukallaf). Apabila pemilik objek adalah orang yang tidak cakap bertindak hukum seperti orang gila, syafih, anak kecil yang belum mumayyis, maka akadnya harus dilakukan oleh walinya.
Agar aqidain dapat dianggap cakap melakukan perbuatan hukum, harus memenuhi prinsip kecakapan (ahliyatul aqid) melakukan akad untuk diri sendiri, atau karena mendapat kewenangan melakukan akad (al wilayatul aqid) menggantikan orang lain berdasarkan perwakilan (wakalah).
2.       Mahallul aqad (objek akad)
Mahallul ‘aqad dapat menerima hukum akad, artinya pada setiap akad berlaku ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan dengan objeknya, apakah dapat dikenai hukum akad atau tidak. Syarat umum mengenai objek adalah: (a)Berbentuk harta, (b)dimiliki oleh seseorang, dan (c)bernilai harta dalam pandangan syara’.
Jumhur ulama’ menambahkan ketentuan umum harus suci objeknya.
Syarat-syarat mahallul aqad                                         
1.      Objek akad tersedia ketika terjadi akad
2.      Mahal al aqd / ma’qud alaihi dibenarkan oleh syara’
3.      Mahal Al Aqd harus jelas dan diketahui oleh aqidain
4.      Objek akad harus suci.[3]
3.         Maudhu’ul akad (tujuan akad)
Yang dimaksud dengan maudhu’ul akad adalah tujuan dan hukum yang mana suatu akad disyariatkan untuk tujuan tersebut. Untuk satu jenis akad tujuan yang hendak dicapainya satu, dan untuk jenis akad lainnya berlaku tujuan yang berbeda.[4]
4.       Sighat akad (ijab dan qabul)
Sighat akad adalah ungkapan yang menunjukkan kesepakatan dua belah pihak yang melakukan akad dan kesepakatan tersebut lazimnya terjadi melalui formula akad (sighat al aqd). Nah, disini dia sebagai unsur akad yang paling penting, bahkan dalam pandangan fuqaha’ hanafiyah suatu akad adalah identik dengan sighatnya. Sighat akad yang terdiri dari ijab dan qabul sesungguhnya merupakan ekspresi kehendak (iradah) yang menggambarkan kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak atas hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari perikatan akad.
Syarat-syarat sighat aqad:
a. Ijab dan qabul harus jelas (dinyatakan dengan ungkapan yang jelas dan pasti maknanya) sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki.
b. Adanya kesesuaian maksud antara ijab dan qabul. Pernyataan qabul dipersyaratkan adanya keselarasan atau persesuaian terhadap ijab dalam banyak hal.
c. Ijab dan qabul mencerminkan kehendak masing-masing pihak secara pasti, tidak ragu-ragu dan tidak menunjukkan adanya unsur keraguan dan paksaan.
d. Ijab dan qabul harus bersambung, maksudnya ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis.
Syarat-syarat Akad
a.    Syarat terjadinya akad
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara’. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad menjadi batal. Syarat ini terbagi atas dua bagian:
1)      Umum, yakni syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad.
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam setiap akad adalah:
•  Pelaku akad cakap bertindak (ahli).
•  Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
•  Akad itu diperbolehkan syara' dilakukan oleh orang yang berhak melakukannya walaupun bukan aqid yang memiliki barang.
•  Akad dapat memberikan faidah sehingga tidak sah bila rahn dianggap imbangan amanah.
•  Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Oleh karenanya akad menjadi batal bila ijab dicabut kembali sebelum adanya kabul.
•  Ijab dan kabul harus bersambung, sehingga bila orang yang berijab berpisah sebelum adanya qabul, maka akad menjadi batal.
2)      Khusus, yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad, dan tidak disyaratkan pada bagian lainnya. Yakni syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat ini juga sering disebut syarat idhafi (tambahan yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan).[5]
b.    Syarat sah akad
Adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut rusak.
Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Ulama’ hanafiyah mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual-beli, yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsure kemadharatan, dan syarat-syarat jual beli rusak
c.    Syarat Pelaksanaan Akad
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Maksud kepemilikan adalah sesuatu yang dimilki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilkinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam bertasharuf sesuai dengan ketetapan syara’, baik secara asli, yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai penggantian (menjadi wakil seseorang).
Dalam hal ini, disyaratkan antara lain:
1. Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli.
2. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain
d.      Syarat kepastian Hukum
Dasar dalam akad adalah kepastian. Diantara syarat luzum dalam jual-beli adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum tampak, maka akad batal atau dikembalikan.

D.      Macam-macam Syarat Akad
Syarat adalah sesuatu yang menyebabkan terwujudnya sesuatu namun syarat tidak termasuk dalam bagian dari sesuatu tersebut atau sesuatu yang diluar hakikat sesuatu tersebut. Syarat Akad ada empat (4) acam, yaitu”:
1)      Syarat In’iqad (شروط الإنعقاد) adalah syarat yang menentukan terlaksananya suatu akad. Bila salah satu saja syarat ini tidak terpenuhi maka akad nikah batal. Contoh, orang yang berakad harus cakap hukum.
2)      Syarat Shihah (شروط الصحة) adalah syarat yang menentukan dalam suatu akad yang berkenaan dengan akibat hukum, dalam artian jika syarat tersebut tidak dipenuhi maka menyebabkan tidak sahnya suatu pernikahan. Contoh, mahar dalam pernikahan, tidak sah pernikahan tanpa adanya mahar.
3)      Syarat Nifaadz (شروط النفاذ) adalah syarat yang menentukan kelangsungan suatu akad, jika syarat ini tidak terpenuhi maka menyebabkan fasa­d-nya pernikahan. Contoh, wali nikah adalah orang yang berwenang untuk menikahkan.
4)      Syarat Luzum (شروط  اللزوم) adalah syarat yang menentukan kepastian suatu akad dalam arti tergantung kepadanya kelanjutan berlangsungnya suatu akad sehingga dengan telah terdapatnya syarat tersebut tidak mungkin akad yang sudah berlangsung itu dibatalkan. Hal ini berarti selama syarat itu belum terpenuhi akad dapat dibatalkan, seperti suami harus sekufu dengan istrinya.[6]

E.       Pembagian Macam-macam Akad
Diantara macam-macam aqad adalah:
1.      Berdasarkan adanya unsur lain didalamnya
Ø  Akad munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksaan akad adalah pernyataan yang disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan adanya akad.
Ø  Akad mu'alaq adalah akad yand di dalam pelaksaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
Ø  Akad mu'alaq ialah akad yang di dalam pelaksaannya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksaan akad, pernyataan yang pelaksaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tidanya waktu yang ditentukan.[7]
2.      Dilihat dari segi ditetapkan atau tidaknya oleh syara:
Ø  Aqad musamma, adalah aqad yang telah ditetapkan oleh syara dan diberi hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, ijarah, syirkah dan lain-lain.
Ø  Aqad ghaira musawwa, adalah aqad yang belum ditetapkan istilah, hukum dan namanya oleh syara.
3.      Dilihat dari segi disyariatkan atau tidaknya:
Ø  Aqad musyaraah, aqad yang dibenarkan oleh syara seperti jual beli, hibah, gadai, dan lain-lain.
Ø  Aqad mamnuah, aqad yang dilarang oleh syara seperti menjual anak binatang yang masih dalam kandungan.[8]
4.      Dilihat dari segi sah atau tidaknya aqad:
Ø  Aqad shahihah, aqad yang cukup syarat-syaratnya. Misalnya, menjual sesuatu dengan harga sekian jika kontan dan sekian jika hutang.
Ø  Aqad fashihah, aqad yang cacat misalnya menjual sesuatu dengan harga yang ditentukan tapi pembayarannya ditangguhkan.
5.      Dilihat dari segi sifat bendanya:
Ø  Akad ainiyah, aqad yang diisyaratkan dengan penyerahan barang-barang seperti jual beli.
Ø  Akad ghaira ainiyah, aqad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang, karena tanpa penyerahan barang-barang pun aqad sudah akan berhasil, seperti aqad amanah.7
6.      Dilihat dari bentuk atau cara melakukannya:
Ø  Dilaksanakan dengan upacara tertentu, yaitu ada saksi seperti pernikahan.
Ø  Aqad ridhaiyah, tidak memerlukan upacara tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak seperti akad-akad pada umumnya.8
7.      Berdasarkan berlaku atau tidaknya akad
Ø  Akad nafidzah , yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad
Ø  Akad mauqufah , yaitu akad –akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan seperti akad fudluli (akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta)
8.      Berdasarkan luzum dan dapat dibatalkan
Ø  Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti akad nikah. Manfaat perkawinan, seperti bersetubuh, tidak bisa dipindahkan kepada orang lain. Akan tetapi, akad nikah bisa diakhiri dengan dengan cara yang dibenarkan syara'.
Ø  Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak, dapat dipindahkan dan dapat dirusakkan seperti akad jual beli dan lain-lain.
Ø  Akad lazim yang menjadi hak salah satu pihak, seperti rahn, orang yang menggadai sesuatu benda punya kebebasan kapan saja ia akan melepas rahn atau menebus kembali barangnya.
Ø  Akad lazim yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak, seperti titipan boleh diminta oleh yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan yang menerima titipan atau yang menerima titipan boleh mengembalikan barang yang dititipkan kepada yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari yang menitipkan.
9.      Dilihat dari tukar menukar hak:
Ø  Akad mu’awadlah, akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti jual beli.
Ø  Akad tabarru’at, akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan seperti hibah.
Ø  Akad yang tabarru’at pada awalnya dan menjadi akad mu’awadlah pada akhirnya seperti qaradh dan kafalah.[9]
10.  Berdasarkan harus dibayar dan tidaknya
Ø  Akad dhaman yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua sesudah benda-benda itu diterima seperti qaradh.
Ø  Akad amanah yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda, bukan oleh yang memegang barang, seperti titipan.
Ø  Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu segi merupakan dhaman, menurut segi yang lain merupakan amanah, seperti rahn(gadai).
Tujuan akad, dari segi tujuannya akad dapat dibagi menjadi lima golongan:
a)      Bertujuan tamlik, seperti jual beli. Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama (perkongsian) seperti syirkah dan mudharabah.
b)      Bertujuan tautsiq(memperkokoh kepercayaan) saja, seperti rahn dan kafalah.
c)      Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah.
d)      Bertujuan mengadakan pemeliharaan, seperti ida’ atau titipan.
11.  Dilihat dari segi tujuan aqad:
Ø  Yang tujuannya tamlik, seperti Ba’I mudarabah.
Ø  Yang tujuannya mongokohkan saja, seperti rahn dan kafalah.
Ø  Yang tujuannya menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah,washayah.
Ø  Yang tujuannya pemeliharaan, yaitu aqdul’ida.
12.  Berdasarkan Fautur dan Istimrar
Ø  Akad fauturiyah yaitu akad-akad yang dalam pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksanaan akad hanya sebentar saja, seperti jaul beli.
Ø  Akad istimrar disebut pula akad zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan, seperti i’arah.[10]
13.  Berdasarkan asliyah dan tabi'iyah
Ø  Akad asliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu yang lain seperti jual beli dan I'arah.
Ø  Akad tahi'iyah, yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti akad rahn tidak akan dilakukan tanpa adanya hutang.[11]

F.     Berakhirnya Akad
Berakhirnya akad berbeda fasakh dan batalnya akad. Berakhirnya akad karena fasakh adalah rusak atau putusnya akad yang mengikat antara muta’aqidain (kedua belah pihak yang melakukan akad) yang disebabkan karena adanya kondisi atau sifat-sifat tertentu yang dapat merusak iradah.
Para fuqaha berpendapat bahwa suatu akad dapat berakhir apabila:
1.      Telah jatuh tempo atau berakhirnya masa berlaku akad yang telah disepakati,
2.      Terealisasinya tujuan daripada akad secara sempurna. Misalnya pada akad tamlikiyyah yang bertujuan perpindahan hak kpemilikan dengan pola akad jual beli,
3.      Barakhirnya akad karena fasakh atau digugurkan oleh pihak-pihak yang berakad.
4.      Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari makalah ini, penyusun telah merangkum beberapa kesimpulan, diantaranya adalah sebagai berikut;
1.      Akad artinya mengikat dua hal. Ini berarti akad ada dalam banyak kegiatan yang dilakukan makhluk hidup, seperti menikah, jual beli, berjanji dan ataupun bersumpah.
2.      Sumber hukum utama akad berasal dari Al Quran.
3.      Macam syarat akad antara lain: syarat in’iqad, syarat shihah, syarat nafadz, dan syarat luzum.

B.    Saran
Adapun saran dari penulis bagi pembaca sekalian adalah sebagai berikut:
1.       Dalam mempelajari suatu hal butuh waktu dan kedisiplinan
2.       Dalam mengerjakan suatu hal supaya menghasilkan sesuatu yang baik pula, butuh keseriusan dan ketelatenan
3.       Budayakanlah sering membaca, karena kita bisa mendapat banyak sekali informasi dan ilmu pengetahuan dari membaca









DAFTAR PUSTAKA

·      Sahrani, Sohari dan Ru’fah Abdullah. 2011. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia.
·      Mas’adi, Gufron A.. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
·      Sumber Artikel: http://ustadzaris.com/seputar-akad
·      Pengusahamuslim.com
·      DatabaseArtikel.com/20118034-perbedaan-antara-bank-syariah-dan-bank-konvensional.html
·      http://maxzhum.blogspot.com/2009/05/resume-macam-macam-akad-keuangan.html
·      http://erwin-zhonata.blogspot.com/


[1] http://ustadzaris.com/seputar-akad

[2] DatabaseArtikel.com/20118034-perbedaan-antara-bank-syariah-dan-bank-konvensional.html
[4]Drs. Gufron A. Mas’adi, M. Ag, Fiqih Muamalah Kontekstual (Bab 5: Konsep Umum Akad, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cetakan ke-1, 2002)  hlm. 89
[6] http://erwin-zhonata.blogspot.com/
[7] Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bab 4: Akad, Bogor: Ghalia Indonesia, cetakan ke-1, 2011),  hlm.47-49
[9] Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bab 4: Akad, Bogor: Ghalia Indonesia, cetakan ke-1, 2011)  hlm.49-50
[11] Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bab 4: Akad, Bogor: Ghalia Indonesia, cetakan ke-1, 2011),  hlm.50

1 comment: